Has Game taken your life?

Wahai gamer-gamer sekalian, saya ingin bertanya kepada kalian, sudah berapa jam kah waktu yang kalian tuangkan untuk bermain game? Saya sendiri sudah menjadi seorang typical hardcore gamer sejak kelas 2 SD, itu kenyataan dan saya tidak malu mengakuinya. 😀

Akhir-akhir ini, sejak saya mulai menekuni game development, saya menjadi berpikir, kok bisa-bisanya ya saya menuangkan waktu sebegitu lamanya hanya untuk bermain game, yang notabene kata mayoritas orang ngegame itu entertainment. Menghibur? Check. Membuat stress? Check. Ketagihan? Check. Bermain game, yang saya maksud bukan yang casual, menjadi gaya hidup buat saya. Saya sendiri suka bermain RPG,  yang kental storyline dan narasinya, dan pastinya ceritanya harus menarik juga. Di sisi lain,saya agak suka dengan game fighting yang kartun, alasannya menghibur, dan sifatnya lebih fantasy lah ya. Di sisi lain juga, saya suka bermain MMO. Dulu saya pecandu parah, tapi udah ga lagi.

Coba ya kita telaah game-game dari jaman dulu ampe sekarang. Jamannya RO masih berkuasa, saya hobi banget grinding ama leveling. Nyari rare equipment dan rare card. Itu MMO. Kalo offline? Dulu saya gila mencari Killer Rune di Suikoden V, yang notabene cuma di drop ama monster. Ngumpulin seluruh Silver Key dan Augment di Fable, bahkan ngumpulin seluruh matrix of Madness di Shivering Island. Cukuplah.

Nah liat persamaanya? Ada 2 hal yang ingin saya garisbawahi di sini, yakni:

  1. Leveling  (naikin level)
  2. Farming (cari virtual goods)

Kedua hal itu normal di mata gamer, dianggap berlebihan di mata casual gamer (yg biasanya cuma maen angry birds, cut the rope, zuma, feeding frenzy, dll), dan dianggap freak oleh non-gamer. Tapi itulah daya tarik game, dan itu yang dimanfaatkan oleh game developer dalam membangun game.

Masuk ke filsafat dikit, manusia bermain game, karena mereka bukan butuh hiburan, melainkan butuh diversion dari kesulitan di dunia nyata. Bayangin:

IRL (in Real Life)
  • hidup kita begini karena udah kodrat?
  • susah naik kelas, harus ada ujian, susah naik pangkat/promosi
  • tugas banyak, reward? NO
  • rutinitas monoton
  • long-term objective, tanpa ada kepastian objective bisa kesampean ato ga
  • item ya gitu-gitu aja
in Game
  • kehidupan kalian dipacu oleh epic quest dengan tujuan yang mulia
  • setiap tugas pasti ada reward
  • short term objective, dalam waktu singkat kalian bisa liat buah dari kerjaan kalian
  • banyak item yang WOW, kayak pedang, pistol, ato apapun yg ga mungkin kalian bisa sentuh di IRL
  • membuat kita berfantasi

Kebayang sekarang kenapa dunia game itu menarik?

Ambil contoh dikit: di Legend of Zelda, kita memainkan penyelamat dunia yang menyelamatkan putri dari seorang penjahat. Typical, OK, compared to IRL? Lebih epic. Suikoden, kita memainkan seorang ketua dari pemberontak yang membela kebenaran dari raja lalim. Bahkan kita punya istana sendiri. Grand Theft Auto, kita maenin orang yang ga peduli lagi ada di mana, dia bisa menembak orang sesuak hati dan ngambil mobil apapun yang ada di jalanan. IRL, kita ditangkep polisi, in game, kita bunuh tu polisi. Singkatnya: game itu representasi fantasi kita yang ga bisa digapai di dunia nyata, maka kita lebih banyak meluangkan waktu untuk game, hanya untuk sekedar memuaskan “unsatisfiable desire”.

Mari ngomongin levelling. Saya maen MMO levelling untuk apa? Untuk job change. Saya levelling di game-game offline untuk apa? Untuk membuka skill baru. Untuk apa? Biar statusnya tambah kuat. Biar bisa make equipment baru. That’s it. Sadar ga bahwa grinding itu adalah rutinitas dan monoton? Tapi kenapa sebagian besar gamer, terutama online gamer, tetap melakukannya, padahal mereka nge-game untuk kabur dari rutinitas dan kemonotonan. Jawabannya ada di statement di atas. Karena itu short-term objective, dan begitu itu udah selesai, kita bisa langsung liat apa rewardnya (equip, skill, job, ato apapun itu). Kontaras dengan dunia nyata, udah rutin, monoton, long-term, belum tentu rewarding lagi. Di dunia game, itu adalah sebuah “Sense of Achievement” yang jarang terjadi di dunia nyata.

Sekarang coba ke farming, istilah ngumpulin ato mencari barang/item di game. Kenapa gamer ampe segitunya ngebela-belain cari rare-item? Karena efeknya? Bukan juga. Lebih tepatnya, karena “Sense of Achievement” lagi. Developer berhasil membuatnya seperti itu, sehingga orang mati-matian mencarinya. Biasanya, karena in-game item itu dibuat unik, makanya kita jadi terpacu untuk mendapatkannya. Dasar gamer ya (saya sendiri juga gamer).

Di MMO, leveling dan farming inilah yang dimanfaatkan oleh para Scumbag Developer untuk mencari duit dengan cara yang bisa  dibilang menyebalkan. Gimana?

Coba pikir: dulu, maen game apapun, naek level dari level 1 ke 2 gampang, 2 ke 3, dst. Tapi kira-kira untuk naek dari level 15 ke atas, mulai susah. Di mata kita, emang logicnya gitu, semakin tinggi semakin susah. Di mata developer, itu duit. Orang dibuat gampang naek level di awal2 adalah cara untuk mengikat seseorang ke dunia game tersebut. Short-term obejctive with immediate reward. Begitu udah susah naek level, di otak kita udah terpaku bahwa kita emang bermain game MMO untuk naek level. Bayangkan kalo gamenya berbasis subscription, maka setiap waktu yg kita luangkan untuk bermain adalah duit bagi developer. Trus, lebih scumbag-nya lagi, buat orang-orang yang ngerasa wah grinding gini terlalu lambat, developer sediakan premium potion/ticket/buff yang mempercepat exp yang kita dapet, tentunya dibeli dengan currency dunia nyata, bukan in-game currency… Contoh? Banyak, liat tuh game di Facebook, kehabisan energy, antar nunggu 2 jam-an ato beli energy replenisher.

Terus, bagaimana dengan in-game items yang kita bela-belain cari berjam-jam? Misal aja nyariin card di RO, padahal jelas-jelas drop rate-nya sangat ga manusiawi. Ato di game-game sejenis dengan cara nyariin mystery box, yang kalau dibuka isinya sangat beragam, bisa item sampah ampe item rare sekalipun. Kalau di MMO, item-item seperti itu berdear di pasaran antar player, dijual dengan harga yang termasuk sangat mahal dengan in-game currency. Nah, tidak sedikit akhirnya player yang membeli in-game currency dengan IRL currency, alias credit card ato transfer uang. Buat apa tuh in-game currency? Buat beli in-game item. Di sisi lain, para scumbag developer ini juga biasanya menjual paid items yang dibeli dengan credit card. Paid items ini biasanya menggiurkan, tidak bisa didapatkan selain beli, dan statusnya biasanya merusak keseimbangan game/PvP. Bagaimana player ga ngiler coba?

Ada yang lebih parah, di mana game itu sangat terbatas kalau kita ga beli paid items itu. Misalnya, di MMO Dragonica, atau mobile games Zenonia dsb, inventory slot yang dimiliki oleh player sangat terbatas, sehingga kita merasa memiliki keterpaksaan untuk membeli storage expansion dari premium shop. WTF. Pertanyaannya, seberapa pentingnya kah kita ngeluarin uang beneran hanya untuk virtual goods? Kita ngeluarin duit hanya untuk item yang bahkan ga bisa disentuh, dan kita ga tau apakah game ybs bakal kita maenin terus. Alhamdulillah ya saya ga pernah tuh ngeluarin uang untuk beli item-item begituan….

Nah, begitulah yang terjadi dengan games keluaran developer Korea Selatan. Ga peduli MMO kayak RO, Dragonica, Dragon Nest, dsb. Mereka membuat game yang bener-bener bikin orang ngerasa perlu membeli item dari premium shop mereka. Cari duit sih sah-sah saja, tapi wong jangan bikin orang menjadi terpaksa. Istilahnya kalau menurut Touchgen: Free-to-play to Slave-to-pay. Damn. Bahkan Gameloft yang dulu terkenal membuat premium games, sekarang jadi ketularan membuatr freemium games, di mana orang jadi harus beli item dari premium shop. World has gone wrong.

Story dikit yang dulu di dapat dari Cracked:

“Ada sebuah MMORPG di Cina yang melakukan hal seperti ini: Memberi reward harian kepada player yang membuka chest paling banyak di hari itu. Gimana cara buka chest-nya? Simple, tinggal beli kuncinya dari premium shop. Cukup gilanya, orang-orang tergiur dengan iming-iming seperti ini dan akhirnya berlomba-lomba membuka chest sebanyak-banyaknya.”

That’s not how gamer enjoy their game. They’ve been enslaved by the developer to spend their money. It can no longer be called gaming. It is slavery.

Sekedar warning kepada sesama gamer yang sudah baca, hati-hati jangan sampai kita diperbudak oleh game yang kita mainkan sendiri. Jangan sampai game-game di Facebook, GooglePlus, Smurf Village, Tiny Tower, Dragonvale, dll menyita perhatian kalian. Masih banyak game yang lebih jujur orientasinya kok.

Pesan kepada sesama developer: janganlah kalian menjadi scumbag developer yang memanfaatkan mental-mental yang belum matang untuk melakukan hal itu. Tidak sedikit orang tua yang khawatir terhadap anaknya yang tiba-tiba mengeluarkan uang karena in-game item. Kalian mungkin belum punya anak (seperti saya), tapi jika sampai anak-anak kalian menjadi seperti itu, kalian yang akan menyesal pertama kali karena sudah meracuni komunitas developer.